Ustadzah Niar

PPDB Al Bina Islamic School 25-26

Ustadzah Niar

Assalamualaikum, Ayah Bunda saya dengan ustadzah Niar dari sekolah Al Bina Islamic School Pangkalpinang. Ada yang bisa kami bantu?

2:53

messenger_opener

Titik Awal Langkahku

Langit di atas desa Karyamukti memancarkan semburat jingga saat aku tiba, membawa koper kecil berisi pakaian, beberapa buku, dan mimpi untuk menginspirasi anak-anak di sebuah sekolah terpencil. Aku, Andi, baru saja meninggalkan kehidupan kota yang serba cepat untuk mencoba menjadi guru di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk modernitas. Namun, hari-hari pertamaku sebagai guru di desa ini mengajarkan satu hal yang tidak pernah kusiapkan sebelumnya: menjadi guru adalah perjalanan emosi yang penuh tantangan, dari kelelahan hingga kebahagiaan, dari frustasi hingga harapan. Karyamukti adalah desa kecil yang asri, dikelilingi sawah yang membentang hingga ke kaki gunung. Rumah-rumah kayu berjejer rapi dengan atap seng yang memantulkan sinar matahari pagi. Anak-anak bermain di pematang sawah sambil tertawa riang. Di tengah desa, berdiri sebuah bangunan sederhana dengan papan nama berwarna pudar bertuliskan Sekolah Dasar Negeri Karyamukti.
"Selamat datang, Pak Andi," sapa Pak Sukiman, kepala sekolah yang menyambutku dengan senyum ramah. Pak Sukiman adalah pria paruh baya yang mengenakan kemeja batik dengan celana panjang yang sedikit lusuh.
"Terima kasih, Pak. Ini pertama kali saya ke desa ini, suasananya damai sekali," balasku, mencoba menyembunyikan rasa gugup.
Beliau mengangguk. "Damai, ya. Tapi juga penuh tantangan, terutama kalau soal pendidikan. Anak-anak di sini butuh perhatian ekstra."
Hari pertamaku dimulai dengan perasaan campur aduk. Aku berdiri di depan kelas yang sederhana, dengan dinding yang sebagian besar dari kayu dan beberapa bangku yang terlihat hampir lapuk. Anak-anak duduk rapi, tapi tatapan mereka berbeda-beda—ada yang penuh rasa ingin tahu, ada yang datar, bahkan ada yang tampak tidak peduli.
"Halo, anak-anak. Nama saya Pak Andi," ucapku dengan nada ceria. "Mulai hari ini, saya akan jadi guru kalian."
Sebagian besar anak-anak tersenyum malu-malu, tapi ada satu anak laki-laki di pojok yang menarik perhatianku. Dia duduk dengan tangan terlipat di dada, ekspresinya datar, dan tatapan matanya seolah menantang.
"Namamu siapa?" tanyaku sambil menunjuknya.
"Dimas," jawabnya singkat, tanpa emosi.
Hari-hari berikutnya tidak berjalan seperti yang kubayangkan. Aku berusaha mengajar dengan antusias, tapi kelas sering kali kacau. Beberapa anak lebih suka menggambar di buku mereka daripada mendengarkan pelajaran, dan Dimas menjadi salah satu murid yang paling sulit didekati. Dia seringkali terlihat tidak peduli, bahkan kadang sengaja mengalihkan perhatian teman-temannya dengan berbisik keras atau membuat lelucon.
Suatu siang, aku duduk sendirian di ruang guru sambil menatap buku rencana mengajar. Aku merasa lelah dan frustrasi. Mengapa rasanya begitu sulit untuk membuat mereka memahami pentingnya belajar?
"Pak Andi kelihatan capek, ya?" suara lembut Bu Siti, guru senior yang sudah mengajar di sini lebih dari 20 tahun, menyentakku dari lamunan.
Aku tersenyum lemah. "Iya, Bu. Saya merasa kurang bisa mendekati mereka. Beberapa anak seperti tidak mau diajak kerja sama."
Bu Siti mengangguk pelan. "Pak, anak-anak di sini punya latar belakang yang tidak mudah. Mereka butuh lebih dari sekadar guru. Mereka butuh seseorang yang bisa memahami mereka."
Kata-katanya membekas di pikiranku. Esok harinya, aku memutuskan untuk mengubah pendekatanku. Alih-alih langsung mengajar, aku memulai hari dengan mengajak anak-anak bermain di luar.
"Pak Andi nggak ngajar, nih?" tanya salah satu anak, terkejut.
"Kita belajar, tapi beda. Kita belajar sambil bermain," jawabku sambil tersenyum.
Anak-anak bersorak gembira. Kami bermain di halaman sekolah, mengadakan lomba kecil-kecilan, hingga akhirnya aku bertanya tentang impian mereka.
"Bapak pengen tahu, apa cita-cita kalian?" tanyaku sambil duduk di atas rerumputan bersama mereka.
"Dokter, Pak!" jawab Ani dengan penuh semangat.
"Polisi, Pak!" sahut Bayu.
Namun, Dimas hanya diam. Aku pun mencoba mendekatinya. "Dimas, kamu sendiri mau jadi apa nanti?"
Dia mengangkat bahu dan menjawab dengan nada datar, "Nggak tahu, Pak. Orang kayak saya mana bisa punya cita-cita."
Jawabannya menusuk hati. Aku tahu ada sesuatu di balik sikapnya yang dingin.
Dua minggu kemudian, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Ketika aku sedang mengajar matematika, Dimas tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya.
"Pak, buat apa sih belajar? Ujung-ujungnya juga tetap miskin!" serunya dengan nada tinggi.
Kelas mendadak hening. Anak-anak lain menatapku dengan mata membelalak. Aku mencoba menenangkan diri, mendekati Dimas dengan perlahan.
"Dimas, aku tahu kamu kesal. Tapi, kamu nggak akan tahu apa yang bisa kamu capai kalau kamu menyerah sekarang," jawabku dengan lembut.
Namun, dia membuang muka dan berjalan keluar kelas.
Aku duduk di kursi guru, merasa bingung dan gagal. Apa yang harus kulakukan untuk menyentuh hatinya? Bagaimana caraku menunjukkan bahwa pendidikan bisa mengubah hidupnya?

Malam itu, aku duduk di teras rumah kecil yang kusewa di desa Karyamukti. Udara dingin menembus jaket tipis yang kupakai, tapi pikiranku terlalu sibuk untuk peduli. Bayangan Dimas yang berlari keluar kelas terus menghantui benakku. Anak itu bukan sekadar murid sulit; dia adalah potret dari masalah yang lebih besar, masalah yang mungkin tidak bisa kuselesaikan hanya dengan menjadi seorang guru.
Keesokan harinya, aku mengunjungi rumah Dimas. Aku telah mendapatkan alamatnya dari Bu Siti. Rumahnya kecil, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dan atapnya sebagian bolong. Di halaman, seorang perempuan tua sedang memetik daun singkong.
"Permisi, Bu. Saya Pak Andi, guru Dimas di sekolah," sapaku sambil mendekat.
Perempuan itu—yang ternyata nenek Dimas—tersenyum lemah. "Oh, jadi Bapak yang mengajar cucu saya. Maaf kalau Dimas sering bikin masalah di sekolah."
Aku menggeleng pelan. "Tidak, Bu. Saya hanya ingin tahu lebih banyak tentang Dimas. Mungkin saya bisa membantu."
Neneknya menarik napas panjang. "Dimas anak yang baik, Pak. Tapi sejak orang tuanya meninggal karena kecelakaan dua tahun lalu, dia berubah. Dia jadi pemurung, gampang marah, dan sering merasa rendah diri. Saya tahu dia pintar, tapi dia sering bilang belajar itu percuma. Kami ini miskin, Pak."
Kata-katanya membuat dadaku sesak. Aku tak pernah tahu bahwa di balik sikap keras kepala Dimas ada luka yang begitu dalam.
Dalam perjalanan pulang, aku memutuskan untuk mencoba pendekatan baru. Aku menyusun rencana kecil yang kupikir bisa membuka hati Dimas, meski hanya sedikit.
Hari berikutnya di sekolah, aku memulai pelajaran dengan sesuatu yang berbeda. Di papan tulis, aku menulis sebuah pertanyaan besar: “Apa mimpi terbesar kalian?”
"Ayo, tulis di selembar kertas," kataku kepada mereka. "Kalian nggak perlu kasih tahu teman-teman. Tulis apa pun yang ada di hati kalian."
Anak-anak mulai menulis. Beberapa tampak antusias, sementara yang lain ragu-ragu. Dimas hanya duduk, menatap kertasnya dengan kosong.
Aku berjalan mendekatinya. "Dimas, coba tulis apa pun yang kamu mau. Ini cuma untuk kamu sendiri."
Dia mendongak, menatapku sejenak, lalu mulai menulis dengan perlahan. Setelah selesai, aku meminta mereka melipat kertas itu dan menyimpannya di dalam kotak yang sudah kusiapkan.
"Kotak ini adalah Kotak Impian," kataku sambil mengangkat kotak tersebut. "Kalian boleh buka lagi kertas ini suatu hari nanti, saat kalian merasa sudah melangkah lebih dekat ke mimpi kalian."
Wajah-wajah mereka berseri-seri, dan untuk pertama kalinya, aku melihat Dimas tersenyum kecil—walau hanya sekilas.
Beberapa minggu kemudian, aku melihat perubahan kecil pada Dimas. Dia mulai lebih memperhatikan saat aku mengajar, meski belum sepenuhnya aktif. Namun, aku tahu perjalanan ini masih panjang.
Lalu datanglah momen yang mengubah segalanya.
Pada hari Jumat sore, sekolah mengadakan lomba kreatif. Setiap kelas diminta untuk membuat karya seni dari bahan bekas. Aku menunjuk Dimas sebagai ketua kelompok, berharap ini bisa menjadi kesempatan baginya untuk menunjukkan potensinya. Awalnya dia menolak, tapi aku berkata dengan tegas, "Aku percaya kamu bisa memimpin mereka, Dimas."
Selama lomba, aku mengamati dari jauh. Dimas terlihat canggung, tapi perlahan ia mulai mengatur teman-temannya. Ketika kelompok mereka menyelesaikan karya mereka—sebuah replika rumah dari kardus dan plastik bekas—aku melihat kebanggaan di wajah Dimas yang selama ini tersembunyi.
Karya itu memenangkan juara pertama. Ketika aku menyerahkan hadiah berupa buku cerita bergambar kepada kelompoknya, aku berkata pelan kepada Dimas, "Lihat? Kamu bisa melakukannya."
Malam harinya, aku menemukan Dimas menungguku di depan rumahku.
"Pak," panggilnya pelan.
Aku menoleh, terkejut. "Dimas? Ada apa?"
Dia mengulurkan secarik kertas. "Ini tulisan saya waktu di Kotak Impian, Pak. Saya mau Bapak baca."
Dengan hati-hati, aku membuka kertas itu. Di sana tertulis, “Saya ingin jadi insinyur supaya bisa bangun rumah buat nenek saya.”
Aku menatap Dimas, mataku hampir berkaca-kaca. "Ini mimpi yang luar biasa, Dimas. Kamu tahu, semua mimpi besar dimulai dari langkah kecil."
Dimas mengangguk pelan. "Tapi, Pak, gimana caranya? Saya nggak pintar, keluarga saya miskin."
Aku berjongkok agar sejajar dengannya. "Dimas, pintar itu bukan sesuatu yang langsung ada. Pintar itu kamu bangun, pelan-pelan, seperti membangun rumah dari batu bata. Dan soal miskin? Kamu nggak sendirian. Aku di sini buat bantu kamu."
Malam itu, aku melihat harapan di matanya. Untuk pertama kalinya, dia percaya bahwa hidupnya bisa berubah.
Dimas mulai menunjukkan perkembangan yang signifikan. Dia lebih aktif bertanya di kelas, bahkan membantu teman-temannya yang kesulitan. Perlahan, aku merasa kepercayaannya pada pendidikan mulai tumbuh.
Setahun kemudian, pada hari perpisahan sekolah, Dimas berdiri di depan teman-temannya untuk memberikan pidato sebagai perwakilan siswa. Dia memegang mikrofon dengan tangan sedikit gemetar, tapi suaranya terdengar jelas.
"Saya ingin berterima kasih kepada semua guru, terutama Pak Andi. Pak Andi mengajarkan saya bahwa mimpi itu bukan sesuatu yang harus ditinggalkan, tapi sesuatu yang harus diperjuangkan. Terima kasih, Pak, sudah percaya pada saya."
Aku tersenyum lebar, bangga, sekaligus terharu. Semua perjuangan, rasa frustrasi, dan kelelahan terbayar dengan momen itu.
Beberapa tahun kemudian, aku menerima surat dari Dimas. Dia telah lulus dari sekolah menengah dan diterima di jurusan teknik sipil di universitas negeri.
"Pak Andi, saya tidak akan pernah sampai di sini tanpa bantuan Bapak. Terima kasih karena tidak menyerah pada saya, meskipun saya sering membuat Bapak marah. Saya akan terus berusaha, seperti yang Bapak ajarkan dulu."
Aku menatap surat itu dengan mata berkaca-kaca. Perjalananku sebagai guru telah mengubah hidupku—dan hidup Dimas. Aku sadar, menjadi guru bukan hanya tentang mengajarkan ilmu, tapi juga menyentuh hati dan membuka pintu harapan. Itulah titik awal langkahku, yang kini terasa semakin bermakna. Tamat

Footer logo

Lokasi : JlKampung Melayu, Tuatunu Indah, Gerunggang, Kota Pangkalpinang, Kep. Bangka Belitung 33123