PPDB Al Bina Islamic School 25-26
Assalamualaikum, Ayah Bunda saya dengan ustadzah Niar dari sekolah Al Bina Islamic School Pangkalpinang. Ada yang bisa kami bantu?
2:53
“Awwwwwwww, Ya Allah perutku!” Sambil memegang perutnya, Diara terduduk di sudut kelas dengan wajah yang pucat dan menunduk. Sudah dua hari ini dia belum makan. Ayahnya yang sakit sakitan dan ibunya yang hanya bekerja serabutan membuat keluarga mereka untuk makan saja susah. Seragam Diara sudah keliatan lusuh, tapi tetap rapi. Sepatunya penuh tambalan, namun ia selalu memastikan keduanya bersih setiap pagi. Meski ia berusaha menyembunyikan rasa malunya, namun sorot matanya tak dapat membohongi apa yang ia rasakan. Syakira, teman sebangkunya sekaligus sahabatnya itu, memperhatikannya dengan raut sedih dan prihatin. “Diara, kamu nggak makan lagi ya hari ini?” tanyanya pelan. Diara menggeleng kecil. “Aku nggak lapar, Syakira,” jawabnya singkat. Tentu saja itu bukan kebenaran. Perutnya sebenarnya sudah keroncongan sejak kemarin, tetapi ia tidak ingin merepotkan temannya. Syakira menatapnya dengan ragu. Ia tahu alasan Diara bukan karena tidak lapar, melainkan karena memang tidak memiliki uang untuk membeli makanan. Diara sering datang ke sekolah dengan bekal seadanya, kadang beberapa kali tanpa apa-apa bahkan sering tidak bawa uang untuk jajajn di sekolah. Kondisi ekonomi keluarganya semakin sulit sejak sang ayah tidak bisa lagi bekerja sebagai buruh bangunan. Diara memang anak yang cerdas. Nilai-nilainya selalu bagus, dan ia jarang sekali absen dari sekolah. Tetapi di balik semua itu, ia menyembunyikan banyak luka. Tidak jarang teman- temannya yang lain mengejeknya karena pakaiannya yang usang bahkan bolong atau perlengkapan sekolahnya yang sederhana. Kesulitan ekonomi yang di alamai keluarganya membuat Diara tak bisa berkutik apa apa. “Syakira,” panggil Ustadzah Linda, wali kelas mereka. “Tolong ajak Diara ke ruang Ustadz Ustadzah , ya. Saya mau bicara sebentar dengannya.” “Iya Ustadzah Linda” ujar Syakira Di ruang Ustadz Ustadzah , Ustadzah Linda memandang Diara dengan penuh kasih sayang. Ia adalah Ustadzah yang sudah mengajar di sekolah itu selama lebih dari 10 tahun. Hatinya lembut dan penuh perhatian kepada setiap siswanya. Ia selalu berusaha untuk tidak hanya menjadi seorang pengajar, tetapi juga seorang ibu bagi murid-muridnya. Pengalaman mengajar 10 tahun menjadikan ia seorang yang tanggap akan kondisi anak anak didik di sekolahnya. “Diara, bagaimana kabarmu hari ini?” tanyanya lembut. “Alhamdulillah baik, Ustadzah,” jawab Diara dengan suara pelan. Kepalanya masih tertunduk, seolah takut bertemu pandang dengan Ustadzah yang ia hormati.“Kamu kelihatan agak pucat, sayang. Apa kamu makan pagi tadi?” Diara terdiam sejenak, kemudian menggeleng. “Tidak, Ustadzah. Ibu sedang tidak sempat masak.” Ustadzah Linda menarik napas panjang. Ia tahu itu bukan jawaban yang sebenarnya. Setelah mendapatkan informasi dari teman sekelasnya Diara dan berbicara dengan Diara sendiri, ia semakin yakin bahwa gadis kecil itu membutuhkan bantuan. Sepulang sekolah, Ustadzah Linda menceritakan kekhawatirannya kepada Ustadzah Wiwin, rekan seprofesinya. “Wiwin, aku merasa kasihan sekali melihat Diara. Anak itu sangat rajin dan cerdas, tapi aku tahu dia sedang menghadapi kesulitan besar di rumah, Bagaimana ya cara kita agar bisa membantunya” kata Ustadzah Linda. “Iya, aku juga dengar dari beberapa murid lain,” jawab Ustadzah Wiwin. “Ayahnya sudah lama sakit, dan ibunya seorang pedagang kecil. Pasti berat bagi mereka.” “Aku ingin membantunya, tapi bagaimana caranya agar mereka tidak merasa malu?” gumam Ustadzah Linda sambil menatap keluar jendela. Ustadzah Wiwin tersenyum. “Mungkin kita bisa berdiskusi dengan para Ustadz Ustadzah dan mulai dengan membuat program sosial di sekolah. Kita ajak para murid dan orang tua untuk berbagi, tapi tanpa menyebutkan siapa penerimanya.” “Masya Allah bagus sekali ide kamu Win. Kira kira kapan ya kita bisa membicarakannya ke Ustadz Ustadzah dan kepala sekolah” “Bagusnya sih secepatnya saja, biar Diara juga cepat terbantu. Apalagi sebentar lagi musim ujian. Diara dan anak anak yang lain harus fokus belajar biar nilainya tetap bagus seperti biasa” Dalam beberapa hari, Ustadzah Linda dan Ustadzah Wiwin bersama para Ustadz Ustadzah dan kepala sekolah memulai program bernama Koin Cinta Siswa Kita. Mereka mengajak para murid untuk menyisihkan sebagian uang jajan mereka. Program ini juga melibatkan orang tua murid untuk menyumbangkan kebutuhan pokok atau barang barang layak pakai serta uang tunai. Syakira, yang tahu tujuan program ini, merasa senang. Ia tahu ini adalah cara terbaik untuk membantu sahabatnya tanpa membuatnya merasa malu. “Diara, ayo ikut bantu program ini. Nanti kita bisa berbuat baik untuk orang lain,” ujar Syakira dengan antusias. Diara tersenyum kecil. Ia juga ingin membantu walaupun tidak bisa menyumbangkan uang atau yang lainnya, dia ingin membantu sebisa yang ia lakukan. Ia tidak tahu bahwa dirinya adalah salah satu tujuan dari program tersebut. Ia dengan tulus ikut membantu mengumpulkan barang-barang donasi dan menyebarkan informasi kepada teman-temannya. Diara tahu bahwa dia tidak akan mungkin bisa menyumbangkan sesuatu makanya ia giat membantu. Pikirnya orang lain akan lebih terbantu jika banyak yang menyebarkan informasi. Di lain tempat, Syakira menyampaikan berita program sekolah Koin Cinta Siswa Kita ini kepada ayah ibunya. Respon ayah ibunya sangat gembira sekali. “Sya, kira kira program ini sampai kapan dilaksanakannya?, kapan ibu bisa berdonasi. Di rumah juga banyak baju layak pakai milik kakakmu. Mungkin saja kita bisa donasikan juga di program sekolah kamu itu!!” Ujar ibunya Syakira. Ibu Syakira merasa program ini sangat cocok sekali di adakan di sekolah itu, mengingat ada beberapa siswa yang kesusahan juga. “Betul tu Bu, ayah juga mau berdonasi. Sya, coba kirimkan nomor rekening sekolahnya biar ayah transfer langsung. “Yeaaayy, makasih ayah ibu” sambi memeluk ayah dan ibunya dengan senyum Bahagia. Syakira yakin Diara pasti senang kalo ia mendapat bantuan dari program ini. Hasil dari program Koin Cinta Siswa Kita sangat luar biasa. Banyak orang tua murid yang memberikan donasi dalam jumlah besar. Donasi yang terkumpul berupa uang, baju, sembako dan lain sebagainya. Dalam waktu dua minggu, Ustadzah Linda dan Ustadzah Wiwin berhasil mengumpulkan cukup banyak untuk membantu beberapa siswa, termasuk Diara. Namun, mereka tidak memberikan bantuan itu secara langsung. Sebaliknya, mereka memberikannya melalui bingkisan dan bantuan biaya sekolah yang tidak menyebutkan siapa pemberinya. Diara hanya diberitahu bahwa itu adalah bagian dari program sekolah.