PPDB Al Bina Islamic School 25-26
Assalamualaikum, Ayah Bunda saya dengan ustadzah Niar dari sekolah Al Bina Islamic School Pangkalpinang. Ada yang bisa kami bantu?
2:53
Di sebuah kota kecil yang sejuk dan dimanjakan mata kita dengan pemandangan bukit yang hijau di tepi pantai, berdiri sebuah sekolah sederhana yang bernama SMP Cahaya Hati. Sekolah dengan dinding yang mulai kusam terkikis oleh waktu, merupakan saksi bisu dari perjalanan ilmu yang tak terhitung. Di sana, seorang guru bernama Bu Arin telah mengabdikan hidupnya selama lebih dari 20 tahun di sekolah tersebut. Bu Arin terkenal dengan sosok yang sabar, lemah lembut dan penyayang. Namun, akhir-akhir ini hatinya terusik dengan bisikan murid-muridnya. “Apa gunanya seorang guru, kalau sekarang semua bisa kita dapat dari internet dan media sosial?” bisik para siswa yang sedang duduk di bawah pohon di belakang sekolah. Mereka membandingkan Bu Arin dengan teknologi digital yang bisa menjawab secepat kilat, tidak peduli waktu pagi atau siang bahkan malam. Suatu hari, seorang siswa bernama Lintang memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang selama ini terpendam dalam hatinya. “Bu, kenapa kita harus belajar di kelas kalau sekarang semuanya sudah ada di YouTube atau Google?”, tanya Lintang dengan penuh percaya diri. Pertanyaan itu seperti embun dingin yang menyentuh hati Bu Arin. Ia tersenyum tipis, namun ada sorot sendu dan berkaca-kaca di matanya. “Lintang, bolehkah Ibu menjawab pertanyaanmu dengan sebuah cerita?”, tanya Bu Arin. Lintang mengangguk, begitu juga teman-teman sekelasnya yang penasaran. ““Dulu, ada seorang pemuda bernama Ari,” mulai Bu Arin. “Ia adalah petani yang tinggal di desa kecil. Suatu hari, Ari menemukan sebuah buku yang menjelaskan bagaimana cara menanam lada dengan teknik modern. Ia sangat bersemangat. Dengan pengetahuan baru itu, ia yakin akan panen yang melimpah. Namun, saat musim tanam tiba, hasilnya justru mengecewakan. Tahu kenapa?” Para siswa terdiam, menunggu jawaban. “Karena Ari tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk menanam lada, bagaimana membaca tanda-tanda cuaca, atau apa yang harus dilakukan saat hama menyerang. Ia hanya tahu teori, tapi tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.” Bu Arin menatap mereka satu per satu. “Teknologi itu ibarat buku Lintang. Ia memberi kita pengetahuan, tapi tidak selalu memberi kita kebijaksanaan. Guru ibarat petani yang menemani kalian di ladang kehidupan, menunjukkan kapan harus menyemai mimpi, bagaimana menghadapi tantangan, dan kapan harus bersabar menunggu panen.” Kelas itu sunyi, hanya suara angin yang berbisik di sela jendela. Lintang, yang biasanya menantang, kini tertunduk. Ia merenungkan kata-kata gurunya. “Tapi, Bu,” katanya pelan, “bukankah teknologi juga bisa membantu kita memahami dunia>” “Tentu,” jawab Bu Arin sambil tersenyum hangat. “Teknologi adalah alat yang luar biasa. Namun, alat tetaplah alat. Ia tidak akan pernah bisa menggantikan sentuhan manusia, kasih sayang, dan kehadiran yang tulus. Ketika kalian bingung, kecewa, atau kehilangan arah, teknologi tidak akan memeluk kalian seperti seorang guru. Itu sebabnya, guru bukan sekadar penyampai ilmu. Guru adalah penjaga hati dan jiwa.” Hari itu, suasana kelas berubah. Para siswa menyadari bahwa seorang guru adalah seperti bintang di malam gelap, menjadi penuntun meskipun cahaya lainnya lebih terang. Di akhir pelajaran, Lintang mendekati Bu Arin. “Bu, terima kasih sudah menjawab pertanyaan saya. Saya tahu teknologi itu penting, tapi sekarang saya paham, guru itu tak ternilai.” Bu Arin tersenyum, kali ini tanpa sendu. Hatinya lega, seperti hujan yang akhirnya menemukan tanah. Di luar kelas, matahari bersinar lebih terang, seolah ikut merayakan pelajaran berharga itu. Di dalam hati Lintang dan teman-temannya, ada benih penghargaan baru yang mulai tumbuh, benih yang suatu hari akan menjadi pohon kebijaksanaan, berakar pada cinta dan penghormatan kepada seorang guru.